Damai Sejahtera :) kali ini saya akan memposting cerpen karya saya sendiri...


ITTERASSHAI (SELAMAT JALAN) J
Kupandangi langit yang berada tepat diatas kepalaku. Tak ada bintang satupun,ku tahu malam ini mendung. Tanpa terasa titik-titik air mulai berjatuhan. Aku ingat kalau aku membawa payung di tas ku. Aku menyusuri sungai di pinggiran kota,airnya mulai mengalir deras setelah hujan menambah debit airnya. Aku berteduh didepan sebuah minimarket setelah kurasa hujan mulai deras.
                Tanpa sadar aku menitikkan air mataku. Aku benar-benar tidak bisa membohongi diriku sendiri. Sikapku sudah benar-benar keterlaluan. Suasana hatiku benar-benar kacau,aku menyesal dengan apa yang kukatakan tadi.
                Hujan sepertinya sudah mulai mereda setelah setengah jam aku berteduh. Aku ingin pulang tapi aku tidak bisa. Untuk apa juga aku harus pulang? Pikirku. Aku mengingat kejadian tadi.
                “Aku belum siap untuk hal ini,tolong jangan memaksaku” aku terduduk lesu di kursi ruang tamu.
                “Tapi kau sudah cukup dewasa,paman juga sudah menyetujuinya,” Ibu berkata padaku dengan nada yang lembut membuatku semakin tak tega.
                “Ibu tidak mengerti”kataku,air mataku mulai berjatuhan.
                “Ibu mengerti bagaimana perasaanmu,tapi kondisi ekonomi kita benar-benar tidak cukup. Kau juga harus mengerti dengan keadaan kita.” Jelas ibu,matanya tampak berkaca-kaca.
                “Ibu mengatakan hal itu setiap kali. Kita memang miskin! Karena itu ibu menyuruhku pergi agar beban ibu berkurang! Ibu terlalu keras kepala karena itu ayah meninggalkan ibu!” bentakku. Aku berlari keluar rumah sambil menyeka air mataku yang semakin deras. Entah kemana aku akan pergi,aku hanya ingin meredam amarahku.
                “hey?” seseorang menepuk pundakku dari belakang.
                “Fani?” aku membalikkan badanku dan kulihat seseorang yang sudah tak asing lagi bagiku berdiri dibelakangku,”sedang apa kau disini?”
                “aku dari minimarket dan kulihat kau berdiri disini,lebih baik kuhampiri saja kan? Jelasnya,”tunggu,..sepertinya kau menangis? Ada apa?”
                “oh tidak ada apa-apa,mataku terkena debu tadi.” Jawabku,sembari menyeka air mataku.
                “Jangan bohong, Pasti ada yang kau sembunyikan? Dia selalu tahu jika aku berbohong.
                “hanya masalah keluarga,” aku menyeka air mataku yang masih berjatuhan.
                “ceritakan saja,mungkin aku bisa membantu? Apa kau bertengkar dengan ibumu?” dia seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.
                Aku mengangguk. Mungkin tidak ada salahnya menceritakan hal ini kepada seseorang. Lagipula Fani adalah orang yang paling kupercaya. Dia seseorang yang bisa menerimaku apa adanya. Tepat sekali dia hadir disaat seperti ini.
                “Bagaimana kalau sambil jalan-jalan? tempat ini tidak nyaman untuk bercerita tentang masalah pribadi,” ujarnya.
                “terserah kau saja” aku hanya menuruti setiap perkataannya saja.
                “bagaimana ceritanya? Aku tahu kau membutuhkan seseorang untuk menyelesaikan masalahmu” katanya,kami berjalan di pinggiran kota. Aku menceritakan hal tadi kepada Fani.
                “Apa aku terlalu egois?” tanyaku.
                “Kurasa begitu. Jadi kau benar-benar akan pindah ke luar negeri?” dia seperti tidak rela jika aku pergi.
                “aku juga tidak tahu,tapi ibuku bersikeras agar aku mau. Kau tahu kan berapa tahun aku bisa beradaptasi disini?”
                “emm.. 1 tahun? Kurasa itu terlalu berlebihan.”tebaknya.
                “tidak,kau benar. Aku sangat sulit berbaur dengan lingkungan baru. Pertama kali aku pindah kesini saja banyak orang yang menjahatiku.” Jelasku,aku sangat enggan untuk pergi.
                “Mungkinkah? Menurutku itu terlalu lama. Aku saja hanya sekitar 2 atau 3 hari untuk bisa berbaur. Tapi bukankah malah menyenangkan bisa pergi ke luar negeri?”
                “Menurutmu begitu. Tapi untukku tidak.” Sangkalku.
                “lalu ibumu akan tinggal sendiri disini?” tanyanya lagi.
                “begitulah. Aku tidak ingin meninggalkannya sendiri. Lagipula dia sedang sakit,tapi dia terlalu memaksaku.”
                “kenapa ibumu bersikeras?”
                “karena itu sifatnya,ayahku meninggalkannya juga karena sifat ibuku yang seperti itu.”
                “sudahlah,ibumu pasti punya alasan sendiri,karena itu dia memaksamu.”
                “mungkin saja. Tapi tidak biasanya.”
                “saranku,lebih baik kau menuruti apa kata ibumu,kurasa dia sudah mempertimbangkannya secara matang.
                “benarkah?” tanyaku. Dia mengangguk. Aku memutuskan untuk segera pulang dan mengubah keputusanku. Kami berpisah di pertigaan taman kota setelah malam semakin larut. Dia benar,aku terlalu egois. Tapi yang masih menjadi pertanyaan bagiku,kenapa ibu memaksaku.
                Sesampainya di rumah, aku segera menemui ibu di kamar untuk meminta maaf. Namun, kulihat tubuh ibu terbujur kaku berlumuran darah di depan pintu kamarnya. Seketika air mataku bercucuran. Apa yang terjadi?
                “IBU..??” aku segera meminta bantuan tetangga sekitar,beberapa orang mendengar suara minta tolongku dan segera menghampiriku. Mereka langsung menyadari kalau ibuku sudah dalam keadaan tak bernyawa. Tubuhnya dingin. Aku sangat terkejut ketika seseorang berkata jika ibuku meninggal karena bunuh diri.  Dia memegang sebuah pisau dapur ditangan kanannya.
                Beberapa hari setelah kepergian ibu...
Aku memutuskan untuk benar-benar pergi. Aku masih menyesali perkataan kasarku terhadap ibu. Bagaimanapun itu adalah kata-kata terakhir yang kuucapkan kepadanya. Aku bahkan belum sempat meminta maaf kepadanya.
                “sudahlah,jangan kau tangisi terus. Ini bukan sepenuhnya kesalahanmu.” Ujar Fani. Setelah ibu meninggal,dia selalu datang ke rumahku untuk menghiburku.
                “tapi hal yang terakhir kuucapkan kepadanya adalah kata-kata yang membuatnya sakit hati. Semua ini salahku.
                “hey..sudahlah,tidak ada gunanya kau menyesalinya. Biarkan beliau pergi dengan tenang.”
                “terima kasih,” ujarku. Dia tersenyum.
                “emm..aku menemukan ini tadi di kamar ibumu. Sepertinya ini surat untukmu,” dia menyodorkan sepucuk surat untukku. Aku buru-buru membukanya dan kubaca surat itu dalam hati.
                Untuk Elsa,
Ibu tau ibu egois,tapi ibu mohon di saat-saat terakhir ibu,ibu bisa melihat senyummu. Tapi ternyata tidak. Ibu minta maaf karena terlalu memaksamu. Ibu punya alasan untuk itu. Mungkin kau belum mengetahuinya.
Sudah 3 tahun ini ibu megidap kanker darah. Ibu benar-benar tersiksa. Namun ibu selalu mengatakan padamu kalau ibu hanya sakit biasa. Ibu berobat ke dokter sebulan sekali,dan setiap ibu berobat penyakit ibu semakin parah. Dokter pun menyarankan ibu untuk menjalani kemoterapi,tapi ibu selalu menolak. Ibu hanya tidak ingin membuatmu khawatir. Ketika ibu sadar ibu akan pergi,ibu memutuskan untuk menghubungi pamanmu agar mau merawatmu,karena disini kau sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu sudah mempersiapkan semua yang harus kau bawa. Setelah menulis surat ini ibu mengakhiri hidup ibu karena sudah sangat tidak kuat lagi.
Mungkin ini saja yang bisa ibu tulis untukmu. Jaga dirimu baik-baik.
Salam
Ibu
                Tak kuasa aku meneteskan air mataku. Aku sangat menyesal,bahkan aku tidak pernah tau bagaimana keadaan ibu. Yang bisa kulakukan hanyalah meminta maaf. Hal ini menjadi pelajaran yang berharga bagiku.
                Seminggu kemudian...
                Aku sampai di bandara pukul 08.00 ditemani Fani dan keluarganya. Paman juga sudah menelpon kalau dia akan menjemputku sesampainya aku disana. Ini perpisahan yang mungkin tak akan pernah kulupakan. Untuk sekarang dan seterusnya aku akan menjadi lebih dewasa. 



               

 


Comments (0)